Obesitas

Kamis, 09 Februari 2012

Waspadai Obesitas Pada Anak

Kota InterNet - Artikel
Jika melihat bayi ini memang begitu menggemaskan, tapi waspadai obesitas yang menghantuinya. (foto: indonesiaindonesia.com)
Orangtua sebaiknya mewaspadai ancaman kegemukan (obesitas) pada anak-anak mereka. Jika pola konsumsi makanan anak tidak dikontrol, bukan hanya mengganggu penampilan, di usia dewasa besar kemungkinan anak-anak tersebut akan menderita penyakit jantung koroner.
Penelitian menunjukkan, sekitar 30-40 persen anak penderita obesitas juga akan menjelma menjadi orang dewasa yang obesitas. Oleh karena itu, orangtua perlu menanamkan kebiasaan sehat pada anak sedini mungkin.
Kebiasaan sehat yang dianjurkan antara lain makan bersama, tidur cukup, dan menonton tv kurang dari dua jam setiap hari. "Anak usia empat tahun yang diajarkan kebiasaan sehat oleh orangtuanya risikonya 40 persen lebih rendah untuk obesitas," kata Sarah Anderson dari Ohio State University di Columbus, AS, dalam jurnal Pediatric.
Anderson menambahkan, sampai saat ini para ahli belum menemukan cara untuk menyembuhkan obesitas pada anak, karena itu yang lebih bijak adalah mencegahnya.
Mengontrol pola makan anak bila dilakukan lewat kebiasaan makan bersama. Kegiatan makan bersama di meja makan bukan sekadar untuk mengisi perut yang lapar, tapi juga ajang bagi orangtua untuk memberi pengajaran tentang gizi dan disiplin. Manfaat lainnya adalah menambah ikatan antara orangtua dan anak.
Cara lain untuk menanggulangi obesitas adalah dengan latihan jasmani. Anak yang kurang melakukan aktivitas fisik tentu cenderung menjadi gemuk jika makannya berlebih. Kegiatan menonton tv berjam-jam bisa dikurangi dan menggantinya dengan aktivitas fsik.
Orangtua sebaiknya memperkenalkan berbagai aktivitas fisik yang menyenangkan, seperti bermain sepeda, berenang dan sebagainya. Latihan jasmani pada anak akan dapat meningkatkan daya tahan aerobik, kekuatan otot dan densitas tulang. Anak-anak juga akan lebih cekatan dan tidak malas dibanding anak-anak yang keseringan duduk di depan tv.
Petunjuk terjadinya obesitas atau kegemukan anak selama hidupnya dapat dilihat sebelum anak berusia dua tahun. Salah satu tandanya adalah peningkatan berat badan yang cepat.
Sebuah studi yang melibatkan lebih dari 100 anak dan remaja yang mengalami obesitas menunjukkan, setengah dari anak-anak itu mengalami kelebihan berat badan saat berusia 24 bulan dan 90 persen obesitas pada usia lima tahun. Seperempatnya bahkan mengalami kegemukan sebelum usia lima bulan.
Di negara-negara maju, masalah obesitas telah menjadi perhatian serius para praktisi kesehatan karena gangguan kesehatan yang mungkin ditimbulkan oleh kelebihan bobot tubuh ini. Di Inggris, sekitar 27 persen anak menderita obesitas.
Meski peningkatan berat badan yang cepat pada masa kanak-kanak belum dipahami penyebabnya, pemberian makanan padat yang lebih dini, pola makan yang buruk, dan minimnya aktivitas fisik diduga memberikan kontribusi.
Para peneliti seperti dilaporkan dalam jurnal Clinical Pediatrics menyebutkan, pola makan anak sudah terbentuk sebelum anak berusia dua tahun. Oleh karena itu, mengubah kebiasaan makan anak di usia lebih besar dianggap lebih sulit.
John Harrington, ketua peneliti dari Eastern Virginia Medical School, mengatakan, hasil tersebut seharusnya menjadi "peringatan dini" bagi dokter dan juga orangtua agar menanamkan pola makan sehat sedini mungkin.
Seberapa sering Anda sebagai orangtua membawa anak-anak ke restoran cepat saji untuk merayakan ulangtahun mereka? Atau memberikan es krim saat tangisannya tak juga berhenti? Tanpa disadari Anda sedang memanjakan anak dengan makanan yang bisa membuat anak kurang atau malah kelebihan gizi.
Padahal, seperti dikatakan dr Fiastuti Witjaksono, SpGK, dokter spesialis gizi klinik, orangtua harus jadi role model. "Anak itu kenal makanan dari orang tuanya. Kalau tidak kita kenalkan, mereka tak akan kenal," papar dr Fiastuti beberapa waktu lalu.
Menurutnya, orangtua sebaiknya tidak mengenalkan anak di bawah satu tahun dengan makanan bergaram, gula, atau penyedap rasa berlebih. Begitu pun dengan susu, sebaiknya kenalkan sejak awal dengan susu tanpa rasa (plain). Karena makanan seperti ini akan mempengaruhi rangsangannya terhadap makanan, yang berujung pada pertumbuhan yang tidak optimal, baik secara kualitas maupun kuantitas.
"Secara kuantitas anak harus terpenuhi gizinya. Namun perlu juga diperhatikan rangsangan terhadap pertumbuhan anak yang bisa didapatkan dari proses belajar makan, bersosialisasi atau lainnya dengan proses yang nyaman tanpa paksaan. Makin banyak rangsangan yang diterima oleh anak pastinya kemampuan otaknya untuk menerima dan bereaksi terhadap rangsangan akan terasah," papar dr Fiastuti, yang berpraktek di Semanggi Specialist Clinic.
Soal gizi dan makanan, dr Fiastuti melanjutkan jumlahnya harus cukup dan bukan lebih. Hindari makanan seperti es sirup, minuman bersoda, kalori tinggi, dan gorengan untuk menghindari anak dengan kelebihan kalori atau lemak. Jangan pula mengajari anak untuk menikmati junk food karena berlemak tinggi, bergaram tinggi, dan bergula tinggi.
Sangat mudah mengenali anak yang kurang gizi, yakni dari berat badan (cenderung turun dan atau tidak sesuai dengan perbandingan berat dan usianya), sulit bicara, dan kondisi tubuh yang kuyu (lemas). Jika sudah begini, artinya pertumbuhan anak Anda tidak optimal.
Ketegasan orangtua, terutama para ibu, dalam pilihan makanan, menjadi urusan penting. Para ibu dituntut menjadi lebih kreatif dan punya pengetahuan lebih untuk mengakali ini. Misalkan, hanya berikan cokelat seminggu sekali ketika anak berbuat baik selama tujuh hari tersebut. Anak menjadi tak kecanduan dengan makanan manis. Atau Anda punya cara lain yang lebih kreatif?. (km3) www.suaramedia.com

sumber :  www.poltekkes-pontianak.ac.id

0 komentar: